Ada
dua peristiwa besar pada bulan Dzulhijjah ini. Pertama: Ibadah haji, yang
puncak-puncaknya adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Kedua:
penyembelihan hewan kurban, yang dimulai tanggal 10 Dzulhijjah. Berkaitan
dengan ibadah haji setidaknya ada satu hikmah berharga yang bisa kita petik.
Ibadah haji-seperti haknya shalat, shaum dan ibadah-ibdah ritual
lainnya-sesungguhnya mengarkan satu hal : kepasrahan, ketundukan dan ketaatan
total kepada Allah SWT. Betapa tidak. Seorang Muslim, yang mungkin terbiasa
berpakaian bagus dan mahal di negerinya, saat menjalankan ritual haji di Tanah
Suci, rela dan pasrah untuk hanya mengenakan pakaian ihram yang sederhana dan
bahkan tak berjahit. Saat itu ia meninggalkan semua kemewahan duniawi. Ia juga,
yang di negerinya mungkin terbiasa berkendaraan mewah dan ber-AC, sat berhaji
rela dan pasrah berjalan kaki atau berlari-lari ketika tawaf atau sa’i di
tengah terik matahari yang menyengat. Ia juga, yang mungkin terbiasa hidup
serba nyaman, saat berhaji rela dan pasrah untuk ikut berdesak-desakan dengan
jamaah lainnya saat melempar jumrah atau sekadar untuk mencium Hajar Aswad.
Pertanyannya:
lalu bagaimana sikap mereka di luar ibadah haji? Sayang seribu kali sayang.
Kepasrahan, ketundukan, dan ketaatan total kepada Allah SWT sering tidak muncul
pada sebagian mereka di luar ibadah haji. Kita, misalnya, masih sering
menyaksikan sebagian kaum Muslim yang tak bersikap pasrah, tunduk dan taat
kepada Allah SWT yang telah mengharamkan riba. Tahun ini pula pemerintah harus
membayar cicilan bungan utang sebesar Rp 191,2 triliun dan tahun depan Rp 221,4
triliun (Detik.com, 18/8/2016).
Tentu, itu belum termasuk cicilan pokoknya. Padahal jelas, riba haram dan
termasuk dosa besar. Allah SWT bahkan telah mengancam pelakunya dengan ancaman
keras (QS al-baqarah: 275, 278-279).
Berbeda
dengan saat ibadah haji, kita pun masih sering menemukan sebagian kaum Muslimah
yang tidak bersikap pasrah, tunduk, dan taat kepada Allah SWT yang telah
mewajibkan mereka untuk menutup aurat dan berjilbab ketika keluar rumah. Kita
masih menyaksikan Muslim yang mengkonsumsi miras dan narkoba, berjudi dan
berselingkuh. Bahkan pergaulan bebas alias zina telah merebak di kalangan
remaja.
Kita
pun sering menjumpai para penguasa dan para pejabat yang tidak bersikap pasrah,
tunduk dan taat kepada Allah SWT yang telah melarang mereka untuk korupsi.
Mereka pun berkali-kali berbohong, melanggar janji dan menipu rakyatnya
sendiri, di antaranya dengan pajak yang berlipat-lipat. Betapa penguasa dan
para elit wakil rakyat pun hingga saaat ini tetap menolak untuk menerapkan
syariah Islam secara formal dalam kehidupan bernegara.
Yang
tak kalah mengherankan, ada di antara mereka yang gelari ulama, ustadz atau
tokoh agama menghalalkan sesuatu yang nyata-nyata telah Allah SWT haramkan.
Misalnya, mereka tanpa malu-malu menghalalkan kepemimpinan orang-orang kafir
atas kaum Mukmin. Padahal tegas Allah SWT telah menyatakan keharaman kaum
Mukmin mengangkat orang kafir menjadi pemimpin mereka. Mereka seolah-olah
menutup mata akan hal itu sehingga tak heran apabila sekarang Indonesia semakin
tercekik karena sebagian tanah dan air kita telah dikuasai asing. Alhasil, jika
hikmah dari haji dan kurban adalah kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total
kepada Allah SWT, maka semua itu harus juga diwujudkan di dalam kehidupan nyata
di luar haji dan kurban.
Referensi : Buletin Dakwah Al-Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar