Selasa, 27 Desember 2016

Totalitas Ketaatan Kepada Allah SWT


           
         Ada dua peristiwa besar pada bulan Dzulhijjah ini. Pertama: Ibadah haji, yang puncak-puncaknya adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Kedua: penyembelihan hewan kurban, yang dimulai tanggal 10 Dzulhijjah. Berkaitan dengan ibadah haji setidaknya ada satu hikmah berharga yang bisa kita petik. Ibadah haji-seperti haknya shalat, shaum dan ibadah-ibdah ritual lainnya-sesungguhnya mengarkan satu hal : kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kepada Allah SWT. Betapa tidak. Seorang Muslim, yang mungkin terbiasa berpakaian bagus dan mahal di negerinya, saat menjalankan ritual haji di Tanah Suci, rela dan pasrah untuk hanya mengenakan pakaian ihram yang sederhana dan bahkan tak berjahit. Saat itu ia meninggalkan semua kemewahan duniawi. Ia juga, yang di negerinya mungkin terbiasa berkendaraan mewah dan ber-AC, sat berhaji rela dan pasrah berjalan kaki atau berlari-lari ketika tawaf atau sa’i di tengah terik matahari yang menyengat. Ia juga, yang mungkin terbiasa hidup serba nyaman, saat berhaji rela dan pasrah untuk ikut berdesak-desakan dengan jamaah lainnya saat melempar jumrah atau sekadar untuk mencium Hajar Aswad.
          Pertanyannya: lalu bagaimana sikap mereka di luar ibadah haji? Sayang seribu kali sayang. Kepasrahan, ketundukan, dan ketaatan total kepada Allah SWT sering tidak muncul pada sebagian mereka di luar ibadah haji. Kita, misalnya, masih sering menyaksikan sebagian kaum Muslim yang tak bersikap pasrah, tunduk dan taat kepada Allah SWT yang telah mengharamkan riba. Tahun ini pula pemerintah harus membayar cicilan bungan utang sebesar Rp 191,2 triliun dan tahun depan Rp 221,4 triliun (Detik.com, 18/8/2016). Tentu, itu belum termasuk cicilan pokoknya. Padahal jelas, riba haram dan termasuk dosa besar. Allah SWT bahkan telah mengancam pelakunya dengan ancaman keras (QS al-baqarah: 275, 278-279).
          Berbeda dengan saat ibadah haji, kita pun masih sering menemukan sebagian kaum Muslimah yang tidak bersikap pasrah, tunduk, dan taat kepada Allah SWT yang telah mewajibkan mereka untuk menutup aurat dan berjilbab ketika keluar rumah. Kita masih menyaksikan Muslim yang mengkonsumsi miras dan narkoba, berjudi dan berselingkuh. Bahkan pergaulan bebas alias zina telah merebak di kalangan remaja.
          Kita pun sering menjumpai para penguasa dan para pejabat yang tidak bersikap pasrah, tunduk dan taat kepada Allah SWT yang telah melarang mereka untuk korupsi. Mereka pun berkali-kali berbohong, melanggar janji dan menipu rakyatnya sendiri, di antaranya dengan pajak yang berlipat-lipat. Betapa penguasa dan para elit wakil rakyat pun hingga saaat ini tetap menolak untuk menerapkan syariah Islam secara formal dalam kehidupan bernegara.
          Yang tak kalah mengherankan, ada di antara mereka yang gelari ulama, ustadz atau tokoh agama menghalalkan sesuatu yang nyata-nyata telah Allah SWT haramkan. Misalnya, mereka tanpa malu-malu menghalalkan kepemimpinan orang-orang kafir atas kaum Mukmin. Padahal tegas Allah SWT telah menyatakan keharaman kaum Mukmin mengangkat orang kafir menjadi pemimpin mereka. Mereka seolah-olah menutup mata akan hal itu sehingga tak heran apabila sekarang Indonesia semakin tercekik karena sebagian tanah dan air kita telah dikuasai asing. Alhasil, jika hikmah dari haji dan kurban adalah kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kepada Allah SWT, maka semua itu harus juga diwujudkan di dalam kehidupan nyata di luar haji dan kurban.

Referensi : Buletin Dakwah Al-Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar