a. Pemerataan Pendidikan
Saat
ini bangsa Indonesia masih mengalami di bidang pemerataan pendidikan. Hal
tersebut dikarenakan pendidikan di Indonesia hanya dapat dirasakan oleh kaum
menengah ke atas. Agar pendidikan di Indonesia tidak semakin terpuruk, maka
pemerintah harus mengambil kebijakan yang tepat. Misalnya, adanya kebijakan
wajib belajar 9 tahun. Kebijakan ini dilaksanakan dari mulai bangku SD hingga
SMP. Pemerintah membuat kebijakan dengan meratakan tenaga pendidik di setiap
daerah.
Menurut
data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003, angka partisipasi murni (APM)
pada jenjang SD, SMP, dan SMA berturut-turut adalah 92,6 persen, 63,5 persen,
dan 40,6 persen. Meski APM pada jenjang SD sudah cukup tinggi, pada jenjang
lanjutan (SMP dan SMA) angka yang dicapai masih rendah. Bila angka-angka itu
dielaborasi berdasar kategori desa-kota, status sosial-ekonomi (kaya-miskin),
dan provinsi (Jawa-luar Jawa), akan ditemukan fakta disparitas yang amat
mencolok. Sebagai contoh, APM pada jenjang SLTP dan SLTA di perkotaan,
masing-masing mencapai 71,9 persen dan 56,1 persen; sementara di pedesaan baru
mencapai 54,1 persen dan 28,7 persen. Juga ada perbedaan amat signifikan APM SLTP pada
kelompok masyarakat kaya dan miskin, masing-masing 72,3 persen dan 49,9 persen.
Fakta disparitas ini juga dijumpai di provinsi-provinsi Jawa-luar Jawa. APM
SLTP di DI Yogyakarta 78 persen, sementara di Kalimantan Barat, Sulawesi
Tengah, Bangka-Belitung, Papua, dan Gorontalo kurang dari 50 persen. Bahkan di
NTT masih di bawah 40 persen. Kenyataan disparitas itulah bisa menjadi
justifikasi guna melakukan ekspansi program pendidikan secara lebih merata.
Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk. Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat perhatian guna mencegah munculnya kecemburuan sosial. Dalam konteks ini, kebijakan affirative action amat relevan diterapkan guna mengatasi kesenjangan partisipasi pendidikan antardaerah dan antar kelompok masyarakat.
Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk. Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat perhatian guna mencegah munculnya kecemburuan sosial. Dalam konteks ini, kebijakan affirative action amat relevan diterapkan guna mengatasi kesenjangan partisipasi pendidikan antardaerah dan antar kelompok masyarakat.
b. Biaya pendidikan
Keadaan ekonomi Indonesia yang semakin
terpuruk berdampak pula pada pendidikan di Indonesia. Banyak sekali anak yang
tidak dapat mengenyam pendidikan karena biaya pendidikan yang mahal. Maka dari
itu, agar bangsa Indonesia tidak semakin
terbelakang, Pemerintah mulai mengeluarkan dana BOS, yang diberikan kepada
peserta didik di SD dan
SMP. Hal tersebut dilakukan dengan membebaskan biaya SPP atau membuat kebijakan
free-school bagi pendidikan dasar. Dengan dikeluarkan kebijakan tersebut, di
harapkan semua pendidikan dapat dirasakan di semua kalangan masyarakat
Indonesia.
c. Kualitas Pendidikan
Selain kedua masalah tersebut, permasalahan
yang paling mendasar adalah masalah mutu pendidikan. Karena sekarang ini
pendidikan kita masih jauh tertinggal jika di bandingkan dengan negara-negara
lain. Hal tersebut di buktikan dengan banyaknya tenaga pendidik yang mengajar
namun tidak sesuai dengan bidangnya. Selain itu, tingkat kejujuran dan
kedisiplinan peserta didik masih rendah. Contohnya: dengan adanya
kecurangan-kecurangan yang dilakukan saat mengikuti Ujian Nasional peserta
didik cenderung pilih mendapat jawaban secara instan, misalnya dengan membeli
jawaban soal UN. Oleh karena itu, mutu pendidikan harus diperbaiki, maka
pemerintah membuat kebijakan yang berupa peningkatan mutu pendidik. Yang
dilakukan dengan cara mengevaluasi ulang tenaga pendidik agar sesuai dengan
syarat untuk menjadi pendidik. Selain itu, pemerintah harus meningkatkan sarana
dan prasarana, misalnya memperbaiki fasilitas gedung, memperbanyak buku.
d. Ujian
Nasional
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggrakan oleh pemerintahan untuk mengukur keberhasilan seorang siswa. Keberadaannya hanya sebagai alat pengetes pendidikan saja, bukan sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu tujuan keberadaan Ujian Nasional yang menggatikan EBTANAS sebelumnya adalah untuk menyempurnakan penilaian pendidikan yang lebih realistis, serta meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Namun hingga saat ini, kehadiran UN masih menimbulkan pro dan kontra di antara masyarakat.
Bila berbicara soal mutu pendidikan yang dihasilkan, output pendidikan nasional saat ini masih memprihatinkan. Hal ini terbukti berdasar pada Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini melalui tes tertulis dengan soal-soal yang cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Dan itu menjadi sangat mungkin bagi guru untuk terjebak ke dalam pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan pada pencapaian kemampuan kognitif siswa melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.
Selain itu, para psikolog juga mengatakan bahwa dengan adanya UN, mental sisswa menjadi tertekan dan hanya terpaku ke dalam pelajaran yang di UN-kan. Un hingga kini juga dianggap tidak memiliki hak asasi guru untuk memberikan kelulusan. Karena bayangkan saja, guru yang selama ini dianggap sebagai pahlawan pendidikan diabaikan, karena tiga tahun mengajar muridnya, serta mengerti betul tentang karakter muridnya, tidak diberi hak dalam menentukan kelulusan. Ketua Umum PB PGRI, Dr Sulistyo mengatakan bahwa UN bukan saja gagal meningkatkan mutu, tapi kiga sidah memberikan dampak buruk, menanamkan nilai-nilai koruptif pada murid,. Bisa dikatakan juga sebagai pembunuh karakter karena sebelum UN dilaksanakan, siswa akan sibuk mencari kunci jawaban. Dan ironisnya, mereka akan membeli kunci jawaban tersebut. Selain itu, pada pelaksaannya pun, banyak isiswa yang mencontek ketika UN berlangsung. Ini sama saja, kepentingan Ujian Nasional sudah dimanfaatkan oleh kepentingan umum di luar pendidikan. Oleh karena itu, jangan heran bila dalam pelaksanaannya akan ditemukan banyak kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, menyontek, atau bentuk kecurangan lainnya.
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggrakan oleh pemerintahan untuk mengukur keberhasilan seorang siswa. Keberadaannya hanya sebagai alat pengetes pendidikan saja, bukan sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu tujuan keberadaan Ujian Nasional yang menggatikan EBTANAS sebelumnya adalah untuk menyempurnakan penilaian pendidikan yang lebih realistis, serta meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Namun hingga saat ini, kehadiran UN masih menimbulkan pro dan kontra di antara masyarakat.
Bila berbicara soal mutu pendidikan yang dihasilkan, output pendidikan nasional saat ini masih memprihatinkan. Hal ini terbukti berdasar pada Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini melalui tes tertulis dengan soal-soal yang cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Dan itu menjadi sangat mungkin bagi guru untuk terjebak ke dalam pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan pada pencapaian kemampuan kognitif siswa melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.
Selain itu, para psikolog juga mengatakan bahwa dengan adanya UN, mental sisswa menjadi tertekan dan hanya terpaku ke dalam pelajaran yang di UN-kan. Un hingga kini juga dianggap tidak memiliki hak asasi guru untuk memberikan kelulusan. Karena bayangkan saja, guru yang selama ini dianggap sebagai pahlawan pendidikan diabaikan, karena tiga tahun mengajar muridnya, serta mengerti betul tentang karakter muridnya, tidak diberi hak dalam menentukan kelulusan. Ketua Umum PB PGRI, Dr Sulistyo mengatakan bahwa UN bukan saja gagal meningkatkan mutu, tapi kiga sidah memberikan dampak buruk, menanamkan nilai-nilai koruptif pada murid,. Bisa dikatakan juga sebagai pembunuh karakter karena sebelum UN dilaksanakan, siswa akan sibuk mencari kunci jawaban. Dan ironisnya, mereka akan membeli kunci jawaban tersebut. Selain itu, pada pelaksaannya pun, banyak isiswa yang mencontek ketika UN berlangsung. Ini sama saja, kepentingan Ujian Nasional sudah dimanfaatkan oleh kepentingan umum di luar pendidikan. Oleh karena itu, jangan heran bila dalam pelaksanaannya akan ditemukan banyak kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, menyontek, atau bentuk kecurangan lainnya.
e. Kurikulum Pendidikan
Secara etimologi, kurikulum
berasal dari bahasa yunani, yaitu curir yang berarti pelari, dan currere yang
berarti berlari cepat, maju dengan cepat. Secara istilah, kurikulum berarti
sejumlah pengetahuan atau kemampuan yang harus diselesaikan atau harus ditempuh
seorang siswa guna mencapai tingkatan tertentu secara formal dan dapat
dipertanggung jawabkan. Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai satu
tujuan pendidikan serta menjadi pedoman dalam pelaksanaan proses belajar
mengajar pada berebagai jenis dan tingkat sekolah. Namun seiring berkembangnya
zaman, pengertian kurikulum terus mengalami perubahan makna. Dan lama kelamaan,
tugas pendidikan yang pada awalnya harus diemban oleh dua pihak, antara
kelusrga dan sekolah menjadi tidak berimbang.
Selama ini, kurikulum dianggap sebagai penentu
keberhasilan pendidikan. Karena itu, perhatian para guru, dosen, hingga
praktisi pendidikan terkonsentrasi pada kurikulum. Padahal kurikulum bukanlah
penetu utama dari keberhasilan suatu pendidikan.
Sekalipun kurikulum juga sebagai penentu kesuksesan, tapi kasus yang terjadi di negri kita ini adalah kesadadaran. Kesadaran untuk berprestasi, kesadaran untuk sukses, kesadaran untuk meningkatkan SDM, dan kesadaran untuk menghilangkan kebodohan.
Sekalipun kurikulum juga sebagai penentu kesuksesan, tapi kasus yang terjadi di negri kita ini adalah kesadadaran. Kesadaran untuk berprestasi, kesadaran untuk sukses, kesadaran untuk meningkatkan SDM, dan kesadaran untuk menghilangkan kebodohan.
Hingga saat ini, Indonesia sudah mengalami banyak
perubahan kurikulum pendidikan. Mulai kurikulum KBK, KTSP, hingga yang terbaru
saat ini adalah K-13 yang masih menimbulkan pro kontra dan bahkan banyak
sekolah yang pada akhirnya kembali lagi pada KTSP, karena bahkan guru pun
banyak yang tidak sanggup untuk mejalankan program ini.
Sebenarnya kurikulum yang memiliki posisi sentral
dalam pendidikan ini menunjukkan bahwa kependidikan yang utama adalah proses
interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Dan
jika seseorang ingin mengetahui apa yang dihasilkan, atau pengalaman belajar
yang didapatkan, maka dia harus mengkaji dan mempelajari kurikulum lembaga
pendidikan tersebut.
Secara singkat, posisi kurikulum bisa dibagi
menjadi tiga. Yaitu:
Construct yang dibangun untuk mentransfer aoa yang sudah terjadi pada masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan, atau dikembangkan.
Construct yang dibangun untuk mentransfer aoa yang sudah terjadi pada masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan, atau dikembangkan.
Sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai
masalah sosial yang berkenaan dengan pendidikan.
Untuk membangun masa depan, dengan berbagai rencana
pengembangan dan pembangunan bangsa melalui masa lalu dan masa sekarang sebagai
dasar untuk mengembangkan masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar