Jumat, 30 Desember 2016

Isu-isu Pendidikan

a.      Pemerataan Pendidikan
Saat ini bangsa Indonesia masih mengalami di bidang pemerataan pendidikan. Hal tersebut dikarenakan pendidikan di Indonesia hanya dapat dirasakan oleh kaum menengah ke atas. Agar pendidikan di Indonesia tidak semakin terpuruk, maka pemerintah harus mengambil kebijakan yang tepat. Misalnya, adanya kebijakan wajib belajar 9 tahun. Kebijakan ini dilaksanakan dari mulai bangku SD hingga SMP. Pemerintah membuat kebijakan dengan meratakan tenaga pendidik di setiap daerah.
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003, angka partisipasi murni (APM) pada jenjang SD, SMP, dan SMA berturut-turut adalah 92,6 persen, 63,5 persen, dan 40,6 persen. Meski APM pada jenjang SD sudah cukup tinggi, pada jenjang lanjutan (SMP dan SMA) angka yang dicapai masih rendah. Bila angka-angka itu dielaborasi berdasar kategori desa-kota, status sosial-ekonomi (kaya-miskin), dan provinsi (Jawa-luar Jawa), akan ditemukan fakta disparitas yang amat mencolok. Sebagai contoh, APM pada jenjang SLTP dan SLTA di perkotaan, masing-masing mencapai 71,9 persen dan 56,1 persen; sementara di pedesaan baru mencapai 54,1 persen dan 28,7 persen. Juga ada perbedaan amat signifikan APM SLTP pada kelompok masyarakat kaya dan miskin, masing-masing 72,3 persen dan 49,9 persen. Fakta disparitas ini juga dijumpai di provinsi-provinsi Jawa-luar Jawa. APM SLTP di DI Yogyakarta 78 persen, sementara di Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Bangka-Belitung, Papua, dan Gorontalo kurang dari 50 persen. Bahkan di NTT masih di bawah 40 persen. Kenyataan disparitas itulah bisa menjadi justifikasi guna melakukan ekspansi program pendidikan secara lebih merata.

Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk. Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat perhatian guna mencegah munculnya kecemburuan sosial. Dalam konteks ini, kebijakan affirative action amat relevan diterapkan guna mengatasi kesenjangan partisipasi pendidikan antardaerah dan antar kelompok masyarakat.

b.      Biaya pendidikan
Keadaan ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk berdampak pula pada pendidikan di Indonesia. Banyak sekali anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan karena biaya pendidikan yang mahal. Maka dari itu,  agar bangsa Indonesia tidak semakin terbelakang, Pemerintah mulai mengeluarkan dana BOS, yang diberikan kepada peserta didik di SD dan SMP. Hal tersebut dilakukan dengan membebaskan biaya SPP atau membuat kebijakan free-school bagi pendidikan dasar. Dengan dikeluarkan kebijakan tersebut, di harapkan semua pendidikan dapat dirasakan di semua kalangan masyarakat Indonesia.

c.       Kualitas Pendidikan
Selain kedua masalah tersebut, permasalahan yang paling mendasar adalah masalah mutu pendidikan. Karena sekarang ini pendidikan kita masih jauh tertinggal jika di bandingkan dengan negara-negara lain. Hal tersebut di buktikan dengan banyaknya tenaga pendidik yang mengajar namun tidak sesuai dengan bidangnya. Selain itu, tingkat kejujuran dan kedisiplinan peserta didik masih rendah. Contohnya: dengan adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan saat mengikuti Ujian Nasional peserta didik cenderung pilih mendapat jawaban secara instan, misalnya dengan membeli jawaban soal UN. Oleh karena itu, mutu pendidikan harus diperbaiki, maka pemerintah membuat kebijakan yang berupa peningkatan mutu pendidik. Yang dilakukan dengan cara mengevaluasi ulang tenaga pendidik agar sesuai dengan syarat untuk menjadi pendidik. Selain itu, pemerintah harus meningkatkan sarana dan prasarana, misalnya memperbaiki fasilitas gedung, memperbanyak buku.

d. Ujian Nasional
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggrakan oleh pemerintahan untuk mengukur keberhasilan seorang siswa. Keberadaannya hanya sebagai alat pengetes pendidikan saja, bukan sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu tujuan keberadaan Ujian Nasional yang menggatikan EBTANAS sebelumnya adalah untuk menyempurnakan penilaian pendidikan yang lebih realistis, serta meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.  Namun hingga saat ini, kehadiran UN masih menimbulkan pro dan kontra di antara masyarakat.
Bila berbicara soal mutu pendidikan yang dihasilkan, output pendidikan nasional saat ini masih memprihatinkan. Hal ini terbukti berdasar pada Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini melalui tes tertulis dengan soal-soal yang cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Dan itu menjadi sangat mungkin bagi guru untuk terjebak ke dalam pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan pada pencapaian kemampuan kognitif siswa melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.
Selain itu, para psikolog juga mengatakan bahwa dengan adanya UN, mental sisswa menjadi tertekan dan hanya terpaku ke dalam pelajaran yang di UN-kan. Un hingga kini juga dianggap tidak memiliki hak asasi guru untuk memberikan kelulusan. Karena bayangkan saja, guru yang selama ini dianggap sebagai pahlawan pendidikan diabaikan, karena tiga tahun mengajar muridnya, serta mengerti betul tentang karakter muridnya, tidak diberi hak dalam menentukan kelulusan. Ketua Umum PB PGRI, Dr Sulistyo mengatakan bahwa UN bukan saja gagal meningkatkan mutu, tapi kiga sidah memberikan dampak buruk, menanamkan nilai-nilai koruptif pada murid,. Bisa dikatakan juga sebagai pembunuh karakter karena sebelum UN dilaksanakan, siswa akan sibuk mencari kunci jawaban. Dan ironisnya, mereka akan membeli kunci jawaban tersebut. Selain itu, pada pelaksaannya pun, banyak isiswa yang mencontek ketika UN berlangsung. Ini sama saja, kepentingan Ujian Nasional sudah dimanfaatkan oleh kepentingan umum di luar pendidikan. Oleh karena itu, jangan heran bila dalam pelaksanaannya akan ditemukan banyak kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, menyontek, atau bentuk kecurangan lainnya.

e.  Kurikulum Pendidikan
Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa yunani, yaitu curir yang berarti pelari, dan currere yang berarti berlari cepat, maju dengan cepat. Secara istilah, kurikulum berarti sejumlah pengetahuan atau kemampuan yang harus diselesaikan atau harus ditempuh seorang siswa guna mencapai tingkatan tertentu secara formal dan dapat dipertanggung jawabkan. Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai satu tujuan pendidikan serta menjadi pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar pada berebagai jenis dan tingkat sekolah. Namun seiring berkembangnya zaman, pengertian kurikulum terus mengalami perubahan makna. Dan lama kelamaan, tugas pendidikan yang pada awalnya harus diemban oleh dua pihak, antara kelusrga dan sekolah menjadi tidak berimbang.
Selama ini, kurikulum dianggap sebagai penentu keberhasilan pendidikan. Karena itu, perhatian para guru, dosen, hingga praktisi pendidikan terkonsentrasi pada kurikulum. Padahal kurikulum bukanlah penetu utama dari keberhasilan suatu pendidikan.
Sekalipun kurikulum juga sebagai penentu kesuksesan, tapi kasus yang terjadi di negri kita ini adalah kesadadaran. Kesadaran untuk berprestasi, kesadaran untuk sukses, kesadaran untuk meningkatkan SDM, dan kesadaran untuk menghilangkan kebodohan.
Hingga saat ini, Indonesia sudah mengalami banyak perubahan kurikulum pendidikan. Mulai kurikulum KBK, KTSP, hingga yang terbaru saat ini adalah K-13 yang masih menimbulkan pro kontra dan bahkan banyak sekolah yang pada akhirnya kembali lagi pada KTSP, karena bahkan guru pun banyak yang tidak sanggup untuk mejalankan program ini.
Sebenarnya kurikulum yang memiliki posisi sentral dalam pendidikan ini menunjukkan bahwa kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Dan jika seseorang ingin mengetahui apa yang dihasilkan, atau pengalaman belajar yang didapatkan, maka dia harus mengkaji dan mempelajari kurikulum lembaga pendidikan tersebut. 
Secara singkat, posisi kurikulum bisa dibagi menjadi tiga. Yaitu:
Construct yang dibangun untuk mentransfer aoa yang sudah terjadi pada masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan, atau dikembangkan.
Sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang berkenaan dengan pendidikan.
Untuk membangun masa depan, dengan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa melalui masa lalu dan masa sekarang sebagai dasar untuk mengembangkan masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar