Sabtu, 31 Desember 2016

Sami’na wa atho’na untuk bersilaturrahim

Mendengar apa yang difirmankan Allah dan memahaminya, lalu mengerjakan apa yang diajarkan atau diserukan di dalam firman Allah tersebut, adalah karakter orang-orang yang beriman. Karakter ini telah lekat, dan banyak disebut di dalam ayat-ayat Al-Qur’an, karena itu fenomena “mentaati apa yang didengar“ akan senantiasa terlihat di kalangan orang-orang yang mempunyai cap “beriman”.  Sebaliknya, hal ini tidak akan terlihat di kalangan orang-orang yang mempunyai cap “kafir”, karena orang-orang kafir tidak mungkin mentaati apa yang difirmankan oleh Allah سبحانه و تعالي .
Berikut adalah gambaran fenomena tersebut pada sekelompok orang yang mengakui bahwa hanya merekalah orang-orang yang beriman, di mana komitmen “kami dengar dan kami taat” memang tampak sangat ‘kelihatan’ ada pada aktifitas mereka yang penuh dengan kerja-kerja yang besar dalam rangka mengikuti Rasul.  Inilah sedikit uraiannya.


Allah SWT berfirman :
“Dan bertaqwalah kepada Allah Yang dengan (nama)Nya kamu saling meminta satu-sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.” (Qs.An-Nisaa : 1)
Dan Allah SWT juga berfirman :

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (yakni silaturrahim) dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Qs.Ar-Ra’d : 21)
Setelah mendengar ayat-ayat ini, merekapun tahu bahwa menyambung silaturrahim adalah wajib, maka mereka pun melaksanakan ayat tersebut, yaitu dengan memutus hubungan kekerabatan terhadap orang-tua, keluarga atau sanak famili mereka.
Silaturrahim mereka artikan : shilla berarti sambungan, rahiim berarti kasih sayang.  Jadi, silaturrahim adalah sambungan kasih sayang, di mana hanya ada di antara orang-orang yang ‘beriman’.
Tidak ada kasih sayang terhadap orang-orang kafir, karena itu silaturrahim pun tidak boleh ada terhadap orang-orang kafir, harus diputus….
Orang-orang yang tidak belajar Qur’an, mereka adalah orang-orang ‘kafir’, yaitu kafir terhadap ayat-ayat Allah karena tidak percaya terhadap ayat-ayat Qur’an.  Bukti bahwa orang-orang itu tidak percaya terhadap Qur’an (kafir) adalah tidak maunya mereka untuk belajar Qur’an dengan benar kepada orang-orang beriman yang faham Qur’an (yaitu mereka).  Karena itu siapapun yang tidak belajar Qur’an kepada mereka adalah ‘kafir’, termasuk keluarga ataupun ibu-bapak sendiri.  Maka tidak ada kasih sayang dan tidak ada silaturrahim terhadap orang-orang kafir.
Ibu-bapak yang ‘kafir’ tidak perlu dijenguk, ditengok, diperhatikan, karena tidak boleh ada kasih sayang terhadap mereka.
Orang-tua yang kesusahan, biarlah mereka kesusahan sebagai adzab dari Allah.
Orang-tua yang sakit, biarlah dia sakit, sekarat, ataupun mati sekalian, karena orang-orang beriman yang imannya baik tidak akan berkasih-sayang dengan orang-orang kafir, siapapun dia.
Sementara itu, orang-orang yang mereka katakan ‘kafir’ tidak memahami seperti itu, tetapi memahami bahwa silaturrahim adalah tali kekerabatan atau tali kekeluargaan, sebagaimana pemahaman para ulama salaf.
Silaturrahim yang diartikan menyambung tali kekeluargaan atau tali kekerabatan oleh para ahli bahasa dan oleh para ulama salaf dari kalangan ahli hadits dan ahli fiqh semisal Imam An-Nawawi atau al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqollani (lihat tulisan : “Silaturrahim”), dianggap tidak tepat.
Sesungguhnya para ahli bahasa, ahli hadits dan ahli fiqh Islam baik dari kalangan ulama salaf ataupun dari kalangan ulama muta’akhirin, semuanya adalah orang-orang yang tidak faham Qur’an.  Mengambil ilmu tidak boleh dari orang-orang yang tidak faham Qur’an seperti itu.  Mengambil ilmu haruslah dari orang yang sudah pasti kepahaman Qur’annya, yaitu pemimpin mereka.
Para ulama telah memahami bahwa silaturrahim adalah tali kekeluargaan/kekerabatan yang tetap harus disambung meskipun orang-tua itu kafir (yahudi, Nasrani atau musyrikin), namun ini adalah pemahaman yang dikatakan keliru, meskipun pemahaman itu adalah pemahaman para ulama salaf semisal Ibnu Hajar Al-Atsqollani, Imam An-Nawawi, Al-Qurthubi dll (lihat tulisan : “Silaturrahim”).  Pemahaman ini adalah pemahaman orang kebanyakan dan merupakan pemahaman orang-orang ‘kafir’. Sebagaimana sudah disinggung di atas, bahwa para ulama salaf adalah orang-orang yang tidak faham Qur’an.  Kalaupun mereka ada kefahaman tentang Qur’an juga, kefahaman mereka hanyalah cocok untuk zamannya masing-masing.  Pada masa sekarang kefahaman mereka sudah pasti tidak akan cocok dengan realita yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar