Sabtu, 31 Desember 2016

Berbuat Taat untuk Kebahagiaan

Manusia itu lemah dan serba terbatas. Baik dalam perkara yang dapat diindra maupun yang ghaib. Setiap orang tahu bahwa jantungnya itu senantiasa berdetak. Tahukah ia berapa kali jantungnya itu berdetak pada menit pertama, menit kedua dan seterusnya? Berapa banyak rambut yang ada dikepalanya? Berapa banyak sejak ia baligh sampai sekarang rambutnya yang rontok? Berapa banyak air yang telah ia konsumsi selama hidup? Pada tgl 12 April jam 8.00 AM ia sedang melakukan apa? Berapa banyak butir pasir dalam satu ember plastik? Banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang sulit atau bahkan tidak mampu dijawabnya. Kalaupun dijawab, hanyalah berupa kira-kira, bukan secara pasti. Ini baru menyangkut perkara sederhana yang dapat diindra. Manusia memang lemah dan terbatas
Dalam perkara materiil yang lebih kompleks manusia pun kesulitan untuk menjawabnya. Mengapa manusia memiliki rasa kasiahan sekaligus arogan? Mengapa manusia memiliki rasa sayang dan sekaligus rasa benci? Mengapa manusia memiliki rasa ingin memiliki? Mengapa ada dorongan untuk berkeluarga? Mengapa memiliki rasa takut? Apa hubungan karakter-karakter yang terdapat pada semua manusia itu dengan oksigen, karbon dioksida, air, nitrogen, sulfur, besi dan unsur-unsur yang ada dalam tubuh manusia? Manusia tak dapat menjawabnya, hanyalah bersifat dugaan, tidak bersifat tepat dan pasti. Memang, manusia itu lemah dan terbatas!
Apalagi dalam perkara ghaib. Bagaimana sebenarnya jin itu? Siapakah malaikat itu? Apa ‘arsy itu? Apakah bunga bank itu baik atau buruk? Apakah berdusta itu benar ataukah salah? Apakah nikah itu baik atau buruk? Apakah perang itu baik atau buruk? Dan seribu satu macam pertanyaan yang lain. Dengan semata mengandalkan akalnya, manusia tidak mampu menjawabnya. Andaikan memaksakan diri untuk menjawabnya, jawabannya itu akan saling berbeda antar satu orang dengan orang lain. Bahkan sering bertentangan. Antar generasipun dapat berbeda sikapnya. Akhirnya, kebenaran menjadi relatif tergantung masa dan tempat. Minuman keras disebut baik pada suatu massa namun buruk pada massa yang lain. Menjadi WTS dipandang buruk dalam suatu keadaan namun disebut baik pada saat terdesak ekonomi, misalnya. Ide tentang penyama dudukkan semua agama dipandang tepat bagi manusia modern, namun tidak demikian untuk manusia masyarakat tardisional. Demikianlah perbedaan dan pertentangan antara sesama manusia. Padahal topik yang menjadi bahasan hanya itu-itu juga. Bahkan seseorang seringkali memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda untuk persoalan yang sama pada saat yang berbeda. Itulah realitas manusia. Tegaslah, manusia itu serba lemah lagi serba kurang dan terbatas. Bila dalam persoalan demikian manusia itu lemah dan kurang, apatah lagi dalam hal menentukan kebaikan-kebaikan dunia akherat bagi ummat manusia.
Persoalan ini bagi seorang muslim bukan semata didasarkan pada realitas yang dilihatnya. Dia meyakini betul firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang memberitahukan bahwa pengetahuan manusia itu amatlah terbatas. “Dan tidaklah kalian Aku beri ilmu melainkan sedikit,” begitu makna firman-Nya dalam surat al-Isra [17] ayat 85. Lebih dari itu, Allah SWT Pencipta Manusia menggambarkan ciptaanya itu dengan menyatakan: “Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh” (Qs. al-Azhab [33]: 72). Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bila manusia itu sering kali menyangka sesuatu itu baik padahal buruk, dan menyangka sesuatu yang buruk sebagai baik. Berkaitan dengan perkara ini Allah SWT memberitahukan:
“Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kalian tidak mengetahui” (Qs. al-Baqarah [2]: 216).
Berdasarkan realitas kelemahan dan keserbakurangan manusia ini maka menyerahkan pengaturan kehidupan kepada hukum dan peraturan yang diproduksi oleh hanya akal manusia hanya akan mendatangkan kerusakan.
Hisab dari Allah SWT
Setelah Allah SWT mengutus rasul-Nya, setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh amal perbuatan yang dilakukannya didunia. Artinya Allah SWT akan mengazab siapa saja yang tidak mau mengikuti aturan yang dibawa rasul tersebut. Firman Allah SWT:
“(Dan) Kami tidak akan mengazab (suatu kaum) sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Qs. al-Isra’ [17]: 15)
Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah SWT memberikan jaminan kepada hamba-Nya; bahwa tidak akan diazab seorang manusia (yang diciptakan-Nya) atas perbuatan yang dilakukannya sebelum diutus seorang rasul kepada mereka. Jadi, mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka lakukan sebelum rasul diutus, karena mereka tidak terbebani oleh satu hukum pun. Namun, tatkala Allah SWT telah mengutus seorang rasul kepada mereka, maka terikatlah mereka dengan risalah yang dibawa oleh rasul tersebut dan tidak ada alasan lagi untuk tidak mengikatkan diri terhadap hukum-hukum yang telah dibawa oleh rasul tersebut. Allah SWT berfirman:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan lagi bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul itu.” (Qs. an-Nisa’ [4]: 165)
Dengan demikian, siapapun yang tidak beriman kepada rasul tersebut, pasti akan diminta pertanggungjawaban dihadapkan Allah kelak tentang ketidak-imanannya dan ketidak-terikatannya terhadapa hukum-hukum yang dibawa rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada rasul, serta mengikatkan diri pada hukum yang dibawannya, ia pun akan diminta pertanggungjawaban tentang penyelewengan terhadap salah satu hukum dari hukum-hukum yang dibawa rasul tersebut.
Atas dasar hal ini, maka setiap muslim diperintahkan melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum-hukum Islam, karena wajib atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah SWT yang telah dibawa Rasulullah saw. Allah SWT berfirman:
“…Apa saja yang dibawa/diperintahkan oleh rasul (berupa hukum) kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (Qs. al-Hasyr [59]: 7)
Banyak sekali nash-nash yang menjelaskan tentang permintaan tanggung jawab ini. Diantaranya:
“Ingatlah, hukum itu milik-Nya. Dia penghisab yang paling cepat.” (Qs. al-An’am [6]: 62)
“Dan jika amalan itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan (hasibin).” (Qs. al-Anbiya [21]: 47)
”Dan siapa saja ingkar terhadap ayat-ayat Allah, ingatlah sungguh Allah itu cepat hisabnya.” (Qs. al-Imran [3]: 19)
“Dan jika kalian menampakkan apa-apa yang ada pada jiwa kalian, atau menyembunyikannya niscaya Allah akan menghisab kalian.” (Qs. al-Baqarah [2]: 284)
“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan dihisab dengan hisab mudah.” (Qs. al-Insyiqaq [84]: 7 – 8)
Jelas sekali, Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban manusia. Seluruh perbuatan manusia akan ditanyain oleh-Nya. Apakah sesuai dengan aturan-Nya ataukah tidak. Oleh karena itu seorang muslim yang sadar akan tidak mampu menahan siksa Allah SWT yang dahsyat akan terus berupaya mentaati aturan-Nya. Penghisab itu adalah Allah SWT, bukan manusia.
Jadi Islam telah menetapkan bagi manusia suatu tolok ukur untuk menilai segala sesuatu, sehingga dapat diketahui mana perbuatan yang terpuji (baik) yang harus segera dilaksanakan dan mana perbuatan tercela (buruk) yang harus segera ditinggalkan. Tolak ukur ini, sekali lagi, adalah hukum syara’ yakni aturan-aturan Allah SWT yang dibawa Rosulullah SAW dan bukan akal dan hawa nafsu manusia. Sehingga apabila syara’ menilai perbuatan tersebut itu baik, maka baiklah perbuatan itu baik, begitu juga sebaliknya.
Dengan demikian, manusia akan dapat menjalani kehidupan dimuka bumi ini dengan berada diatas jalan yang lurus (benar), jalan yang akan mendatangkan kebahagiaan, kedamaian dan ketentraman. Hal yang wajar sebab mereka berjalan diatas ketentuan-ketentuan Allah SWT yang telah menciptakan dan mengatur mereka dan mengetahui secara pasti mana yang baik dan buruk bagi manusia. Sebaliknya, jika manusia menjadikan akal dan hawanya untuk menentukan mana yang baik dan yang buruk, atau dengan kata lain mereka membuat aturan yang bertentangan dengan aturan yang diturunkan Allah SWT sehingga mereka berjalan diatas jalan yang salah, maka yang akan didapatkannnya hanyalah kesengsaraan, kekacauan, kerusakan, kegelisahan dan berbagai bencana yang silih berganti. Allah SWT berfirman:
“Telah tampak kerusakan didart dan dilaut disebabkan karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).” (Qs. Ar-Ruum [30]: 41)
Dalam terikat dengan hukum syara’ ini tidak layak ditunda-tunda. Rosulullah SAW bersabda:
“Bersegeralah kamu sekalian untuk melakukan amal-amal shalih, karena akan terjadi suatu bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita dmana ada seorang pada waktu pagi beriman tapi apda waktu sore ia kafir; pada waktu sore ia beriman tetapi pada waktu pagi ia kafir; ia rela menukar agamanya dengan sedikit keuntungan dunia” [HR. Muslim]
Bila hadits ini kita renungkan, rasanya dewasa ini hampir atau bahkan telah terjadi. Betapa banyak godaan, halangan, dan tantangan yang menghadang didepan orang yang akan melakukan kebaikan. Sebaliknya, betapa banyak dorongan dan kemudahan untuk melakukan kemaksiatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar