Manusia itu lemah dan serba terbatas. Baik dalam perkara yang dapat
diindra maupun yang ghaib. Setiap orang tahu bahwa jantungnya itu
senantiasa berdetak. Tahukah ia berapa kali jantungnya itu berdetak pada
menit pertama, menit kedua dan seterusnya? Berapa banyak rambut yang
ada dikepalanya? Berapa banyak sejak ia baligh sampai sekarang rambutnya
yang rontok? Berapa banyak air yang telah ia konsumsi selama hidup?
Pada tgl 12 April jam 8.00 AM ia sedang melakukan apa? Berapa banyak
butir pasir dalam satu ember plastik? Banyak lagi pertanyaan-pertanyaan
yang sulit atau bahkan tidak mampu dijawabnya. Kalaupun dijawab,
hanyalah berupa kira-kira, bukan secara pasti. Ini baru menyangkut
perkara sederhana yang dapat diindra. Manusia memang lemah dan terbatas
Dalam perkara materiil yang lebih kompleks manusia pun kesulitan
untuk menjawabnya. Mengapa manusia memiliki rasa kasiahan sekaligus
arogan? Mengapa manusia memiliki rasa sayang dan sekaligus rasa benci?
Mengapa manusia memiliki rasa ingin memiliki? Mengapa ada dorongan untuk
berkeluarga? Mengapa memiliki rasa takut? Apa hubungan
karakter-karakter yang terdapat pada semua manusia itu dengan oksigen,
karbon dioksida, air, nitrogen, sulfur, besi dan unsur-unsur yang ada
dalam tubuh manusia? Manusia tak dapat menjawabnya, hanyalah bersifat
dugaan, tidak bersifat tepat dan pasti. Memang, manusia itu lemah dan
terbatas!
Apalagi dalam perkara ghaib. Bagaimana sebenarnya jin itu? Siapakah
malaikat itu? Apa ‘arsy itu? Apakah bunga bank itu baik atau buruk?
Apakah berdusta itu benar ataukah salah? Apakah nikah itu baik atau
buruk? Apakah perang itu baik atau buruk? Dan seribu satu macam
pertanyaan yang lain. Dengan semata mengandalkan akalnya, manusia tidak
mampu menjawabnya. Andaikan memaksakan diri untuk menjawabnya,
jawabannya itu akan saling berbeda antar satu orang dengan orang lain.
Bahkan sering bertentangan. Antar generasipun dapat berbeda sikapnya.
Akhirnya, kebenaran menjadi relatif tergantung masa dan tempat. Minuman
keras disebut baik pada suatu massa namun buruk pada massa yang lain.
Menjadi WTS dipandang buruk dalam suatu keadaan namun disebut baik pada
saat terdesak ekonomi, misalnya. Ide tentang penyama dudukkan semua
agama dipandang tepat bagi manusia modern, namun tidak demikian untuk
manusia masyarakat tardisional. Demikianlah perbedaan dan pertentangan
antara sesama manusia. Padahal topik yang menjadi bahasan hanya itu-itu
juga. Bahkan seseorang seringkali memiliki pemikiran dan pendapat yang
berbeda untuk persoalan yang sama pada saat yang berbeda. Itulah
realitas manusia. Tegaslah, manusia itu serba lemah lagi serba kurang
dan terbatas. Bila dalam persoalan demikian manusia itu lemah dan
kurang, apatah lagi dalam hal menentukan kebaikan-kebaikan dunia akherat
bagi ummat manusia.
Persoalan ini bagi seorang muslim bukan semata didasarkan pada
realitas yang dilihatnya. Dia meyakini betul firman Allah SWT dalam
al-Qur’an yang memberitahukan bahwa pengetahuan manusia itu amatlah
terbatas. “Dan tidaklah kalian Aku beri ilmu melainkan sedikit,” begitu
makna firman-Nya dalam surat al-Isra [17] ayat 85. Lebih dari itu, Allah
SWT Pencipta Manusia menggambarkan ciptaanya itu dengan menyatakan:
“Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh” (Qs. al-Azhab
[33]: 72). Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bila manusia itu sering
kali menyangka sesuatu itu baik padahal buruk, dan menyangka sesuatu
yang buruk sebagai baik. Berkaitan dengan perkara ini Allah SWT
memberitahukan:
“Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.
Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.
Allah mengetahui sedang kalian tidak mengetahui” (Qs. al-Baqarah [2]:
216).
Berdasarkan realitas kelemahan dan keserbakurangan manusia ini maka
menyerahkan pengaturan kehidupan kepada hukum dan peraturan yang
diproduksi oleh hanya akal manusia hanya akan mendatangkan kerusakan.
Hisab dari Allah SWT
Setelah Allah SWT mengutus rasul-Nya, setiap manusia akan dimintai
pertanggungjawaban atas seluruh amal perbuatan yang dilakukannya
didunia. Artinya Allah SWT akan mengazab siapa saja yang tidak mau
mengikuti aturan yang dibawa rasul tersebut. Firman Allah SWT:
“(Dan) Kami tidak akan mengazab (suatu kaum) sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Qs. al-Isra’ [17]: 15)
Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah SWT memberikan
jaminan kepada hamba-Nya; bahwa tidak akan diazab seorang manusia (yang
diciptakan-Nya) atas perbuatan yang dilakukannya sebelum diutus seorang
rasul kepada mereka. Jadi, mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban
atas perbuatan yang mereka lakukan sebelum rasul diutus, karena mereka
tidak terbebani oleh satu hukum pun. Namun, tatkala Allah SWT telah
mengutus seorang rasul kepada mereka, maka terikatlah mereka dengan
risalah yang dibawa oleh rasul tersebut dan tidak ada alasan lagi untuk
tidak mengikatkan diri terhadap hukum-hukum yang telah dibawa oleh rasul
tersebut. Allah SWT berfirman:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar tidak ada alasan lagi bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya rasul itu.” (Qs. an-Nisa’ [4]: 165)
Dengan demikian, siapapun yang tidak beriman kepada rasul tersebut,
pasti akan diminta pertanggungjawaban dihadapkan Allah kelak tentang
ketidak-imanannya dan ketidak-terikatannya terhadapa hukum-hukum yang
dibawa rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada rasul, serta
mengikatkan diri pada hukum yang dibawannya, ia pun akan diminta
pertanggungjawaban tentang penyelewengan terhadap salah satu hukum dari
hukum-hukum yang dibawa rasul tersebut.
Atas dasar hal ini, maka setiap muslim diperintahkan melakukan amal
perbuatannya sesuai dengan hukum-hukum Islam, karena wajib atas mereka
untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan
Allah SWT yang telah dibawa Rasulullah saw. Allah SWT berfirman:
“…Apa saja yang dibawa/diperintahkan oleh rasul (berupa hukum)
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah…” (Qs. al-Hasyr [59]: 7)
Banyak sekali nash-nash yang menjelaskan tentang permintaan tanggung jawab ini. Diantaranya:
“Ingatlah, hukum itu milik-Nya. Dia penghisab yang paling cepat.” (Qs. al-An’am [6]: 62)
“Dan jika amalan itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami
mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan
(hasibin).” (Qs. al-Anbiya [21]: 47)
”Dan siapa saja ingkar terhadap ayat-ayat Allah, ingatlah sungguh Allah itu cepat hisabnya.” (Qs. al-Imran [3]: 19)
“Dan jika kalian menampakkan apa-apa yang ada pada jiwa kalian, atau
menyembunyikannya niscaya Allah akan menghisab kalian.” (Qs. al-Baqarah
[2]: 284)
“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia
akan dihisab dengan hisab mudah.” (Qs. al-Insyiqaq [84]: 7 – 8)
Jelas sekali, Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban manusia.
Seluruh perbuatan manusia akan ditanyain oleh-Nya. Apakah sesuai dengan
aturan-Nya ataukah tidak. Oleh karena itu seorang muslim yang sadar akan
tidak mampu menahan siksa Allah SWT yang dahsyat akan terus berupaya
mentaati aturan-Nya. Penghisab itu adalah Allah SWT, bukan manusia.
Jadi Islam telah menetapkan bagi manusia suatu tolok ukur untuk
menilai segala sesuatu, sehingga dapat diketahui mana perbuatan yang
terpuji (baik) yang harus segera dilaksanakan dan mana perbuatan tercela
(buruk) yang harus segera ditinggalkan. Tolak ukur ini, sekali lagi,
adalah hukum syara’ yakni aturan-aturan Allah SWT yang dibawa Rosulullah
SAW dan bukan akal dan hawa nafsu manusia. Sehingga apabila syara’
menilai perbuatan tersebut itu baik, maka baiklah perbuatan itu baik,
begitu juga sebaliknya.
Dengan demikian, manusia akan dapat menjalani kehidupan dimuka bumi
ini dengan berada diatas jalan yang lurus (benar), jalan yang akan
mendatangkan kebahagiaan, kedamaian dan ketentraman. Hal yang wajar
sebab mereka berjalan diatas ketentuan-ketentuan Allah SWT yang telah
menciptakan dan mengatur mereka dan mengetahui secara pasti mana yang
baik dan buruk bagi manusia. Sebaliknya, jika manusia menjadikan akal
dan hawanya untuk menentukan mana yang baik dan yang buruk, atau dengan
kata lain mereka membuat aturan yang bertentangan dengan aturan yang
diturunkan Allah SWT sehingga mereka berjalan diatas jalan yang salah,
maka yang akan didapatkannnya hanyalah kesengsaraan, kekacauan,
kerusakan, kegelisahan dan berbagai bencana yang silih berganti. Allah
SWT berfirman:
“Telah tampak kerusakan didart dan dilaut disebabkan karena perbuatan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).” (Qs.
Ar-Ruum [30]: 41)
Dalam terikat dengan hukum syara’ ini tidak layak ditunda-tunda. Rosulullah SAW bersabda:
“Bersegeralah kamu sekalian untuk melakukan amal-amal shalih, karena
akan terjadi suatu bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita dmana
ada seorang pada waktu pagi beriman tapi apda waktu sore ia kafir; pada
waktu sore ia beriman tetapi pada waktu pagi ia kafir; ia rela menukar
agamanya dengan sedikit keuntungan dunia” [HR. Muslim]
Bila hadits ini kita renungkan, rasanya dewasa ini hampir atau bahkan
telah terjadi. Betapa banyak godaan, halangan, dan tantangan yang
menghadang didepan orang yang akan melakukan kebaikan. Sebaliknya,
betapa banyak dorongan dan kemudahan untuk melakukan kemaksiatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar