Selasa, 27 Desember 2016

Peran Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan Teori Belajar



            Filsafat pendidikan berkembang sejak keperluan atas pendidikan sendiri berkembang, kebutuhan semacam ini dirasakan memuat sejak zaman Yunani kuno. Mengapa filsafat pendidikan itu penting? Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap praktik pendidikan di sekolah, setiap pembelajaran oleh guru, selalu dilandasi oleh seperangkat keyakinan, yang bersumber kepada filsafat pendidikan, dan berpengaruh terhadap apa dan bagaimana seharusnya siswa dibelajarkan. Filsafat pendidikan menjawab berbagai pertanyaan tentang tujuan persekolahan, peranan guru, dan tentang apa yang harus diajarkan. Ada beberapa pendekatan dalam menggolongkan aliran filsafat yang terkait dengan konsep pendidikan, yaitu :
a.       Nativisme
            Nativisme berasal dari kata nativus yang artinya terlahir atau pembawaan sejak lahir. Pandangan ini berpendapat bahwa perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor bawaan sejak lahir (hereditas). Tokoh yang terkenal yaitu Arthur Schopenhouer.  Menurut aliran ini setiap anak sejak lahir telah memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang disebut pembawaan dan terdiri dari pembawaan baik dan pembawaan buruk. Sifat bawaan ini tidak dapat diubah oleh pengalaman, lingkungan dan pendidikan, dengan demikian hasil akhir pendidikan dipengaruhi oleh sifat bawaan itu. Jadi, jika sejak lahir seorang anak memiliki sifat pembawaan yang buruk, maka seumur hidup ia akan menjadi orang yang berwatak buruk, sebaliknya jika ia memang berpembawaan baik, maka sampai mati pun ia tetap menjadi orang baik. Aliran ini disebut dengan pedagogik pesimistis.
b.      Naturalisme
            Naturalisme berasal dari kata natura yang artinya alam atau kodrat. Pelopor aliran ini adalah Jean-Jacques Rousseau. Aliran ini berpendapat bahwa setiap anak yang baru dilahirkan dengan mempunyai pembawaan yang baik, dan tidak seorang pun lahir dengan pembawaan yang buruk. Namun, pembawaan baik itu, akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan atau kebudayaan manusia itu sendiri. Pandangan ini tidak memandang pentingnya pendidikan, sehingga aliran ini juga disebut negativisme, karena berpendapat bahwa pendidikan wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam atau dengan kata lain tidak diperlukan campur tangan pendidikan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memberikan kebebasan kepada anak untuk berkembang menurut kodrat dan alamnya yang baik itu.
c.       Empirisme
            Empirisme berasal dari kata empiria atau pengalaman, tokohnya adalah John Locke. Paham empirisme bertentangan dengan paham nativisme dan berpandangan bahwa anak sejak lahir belum memiliki sifat pembawaan apa pun, anak yang baru lahir bagaikan kertas yang putih bersih, tabula rasa. Program-program pendidikan harus menciptakan pengalaman belqajar yang diperlukan anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Dalam hal ini dipersepsikan bahwa seorang pendidikan akan mampu membentuk anak-anak menjadi apa saja, apakah menjadi seorang pelaut, guru, pengacara atau seorang sarjana. Karena besarnya optimisme terhadap peranan pendidikan dalam pandangan aliran ini, maka aliran ini disebut pula sebagai pedagogik optimistis.
d.      Konvergensi
            Pandangan ini memadukan antara pandangan nativisme dan empirisme. Tokohnya yaitu William Stern. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan intelektualitas anak tidak hanya dilihat dari faktor pembawaan atau lingkungan saja tetapi perpaduan anatara keduanya, sinergisme antara faktor internal dan faktor eksternal. William Stern berpendapat bahwa sejak lahir anak sudah dibekali baik pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan penting. Aliran konvergensi ini berbeda dengan aliran-aliran sebelumnya, telah diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia.
            Dari beberapa aliran filsafat dalam konsep pendidikan di atas, saya tidak sependapat dengan aliran Nativisme bahwa ‘setiap anak sejak lahir telah memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang disebut pembawaan dan terdiri dari pembawaan baik dan pembawaan buruk. Jadi, jika sejak lahir seorang anak memiliki sifat pembawaan yang buruk, maka seumur hidup ia akan menjadi orang yang berwatak buruk, sebaliknya jika ia memang berpembawaan baik, maka sampai mati pun ia tetap menjadi orang baik’. Jika seperti itu adanya, kasian juga ya manusia hihi manusia tidak diberikan kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik dan tidak adanya perkembangan pada manusia, baik perkembangan pola pikir ataupun perkembangan perilaku karena telah disebutkan bahwa manusia itu sudah mempunyai pembawaan sejak lahir baik atau buruknya. Sebenarnya pandangan ini bertentangan dengan Islam karena Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya karena manusia mempunyai akal. Dengan akal manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya. Coba bayangkan, jika dari lahir kita mempunyai sifat pembawaan yang buruk. Masih adakah orang yang mau berteman dengan kita karena kita berwatak buruk? Jangankan berteman untuk berkenalan saja mungkin enggan. Apabila hal itu terjadi, akan dibawa kemanakah dunia ini?.
            Dalam pandangan Islam, berbicara tentang karakter manusia berarti berbicara tentang fitrah sebagai hakikat manusia. Dalam Q.S Ar-Ruum : 30 ‘Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama Allah, ciptaan Allah, yang manusia telah diciptakan bersesuaian dengannya, tidak ada perubahan pada penciptaan Allah itu. Itulah agama yang benar. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya’. Ayat ini memberi kesimpulan bahwa fitrah manusia selalu berkonotasi baik dan menjadi asumsi yang sangat mendasar bahwa manusia memang diciptakan dalam keadaan baik dan berkecenderungan mengarah kepada kebaikan dan kebenearan. Wallahua’lam.  

Referensi : Buku Pengantar Filsafat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar