Filsafat pendidikan berkembang sejak
keperluan atas pendidikan sendiri berkembang, kebutuhan semacam ini dirasakan
memuat sejak zaman Yunani kuno. Mengapa filsafat pendidikan itu penting? Tidak dapat
dipungkiri bahwa setiap praktik pendidikan di sekolah, setiap pembelajaran oleh
guru, selalu dilandasi oleh seperangkat keyakinan, yang bersumber kepada
filsafat pendidikan, dan berpengaruh terhadap apa dan bagaimana seharusnya
siswa dibelajarkan. Filsafat pendidikan menjawab berbagai pertanyaan tentang
tujuan persekolahan, peranan guru, dan tentang apa yang harus diajarkan. Ada
beberapa pendekatan dalam menggolongkan aliran filsafat yang terkait dengan
konsep pendidikan, yaitu :
a. Nativisme
Nativisme berasal dari kata nativus
yang artinya terlahir atau pembawaan sejak lahir. Pandangan ini berpendapat
bahwa perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor
bawaan sejak lahir (hereditas). Tokoh yang terkenal yaitu Arthur Schopenhouer. Menurut aliran ini setiap anak sejak lahir
telah memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang disebut pembawaan dan terdiri
dari pembawaan baik dan pembawaan buruk. Sifat bawaan ini tidak dapat diubah
oleh pengalaman, lingkungan dan pendidikan, dengan demikian hasil akhir
pendidikan dipengaruhi oleh sifat bawaan itu. Jadi, jika sejak lahir seorang
anak memiliki sifat pembawaan yang buruk, maka seumur hidup ia akan menjadi
orang yang berwatak buruk, sebaliknya jika ia memang berpembawaan baik, maka
sampai mati pun ia tetap menjadi orang baik. Aliran ini disebut dengan
pedagogik pesimistis.
b. Naturalisme
Naturalisme berasal dari kata natura
yang artinya alam atau kodrat. Pelopor aliran ini adalah Jean-Jacques Rousseau.
Aliran ini berpendapat bahwa setiap anak yang baru dilahirkan dengan mempunyai
pembawaan yang baik, dan tidak seorang pun lahir dengan pembawaan yang buruk.
Namun, pembawaan baik itu, akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh
lingkungan atau kebudayaan manusia itu sendiri. Pandangan ini tidak memandang
pentingnya pendidikan, sehingga aliran ini juga disebut negativisme, karena
berpendapat bahwa pendidikan wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam atau
dengan kata lain tidak diperlukan campur tangan pendidikan. Pendidikan yang
baik adalah pendidikan yang memberikan kebebasan kepada anak untuk berkembang
menurut kodrat dan alamnya yang baik itu.
c. Empirisme
Empirisme berasal dari kata empiria
atau pengalaman, tokohnya adalah John Locke. Paham empirisme bertentangan
dengan paham nativisme dan berpandangan bahwa anak sejak lahir belum memiliki
sifat pembawaan apa pun, anak yang baru lahir bagaikan kertas yang putih
bersih, tabula rasa. Program-program pendidikan harus menciptakan pengalaman
belqajar yang diperlukan anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Dalam hal
ini dipersepsikan bahwa seorang pendidikan akan mampu membentuk anak-anak
menjadi apa saja, apakah menjadi seorang pelaut, guru, pengacara atau seorang
sarjana. Karena besarnya optimisme terhadap peranan pendidikan dalam pandangan
aliran ini, maka aliran ini disebut pula sebagai pedagogik optimistis.
d. Konvergensi
Pandangan ini memadukan antara
pandangan nativisme dan empirisme. Tokohnya yaitu William Stern. Aliran ini
berpandangan bahwa perkembangan intelektualitas anak tidak hanya dilihat dari
faktor pembawaan atau lingkungan saja tetapi perpaduan anatara keduanya,
sinergisme antara faktor internal dan faktor eksternal. William Stern
berpendapat bahwa sejak lahir anak sudah dibekali baik pembawaan baik maupun
pembawaan buruk. Dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun
faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan penting. Aliran konvergensi ini
berbeda dengan aliran-aliran sebelumnya, telah diterima secara luas sebagai pandangan
yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia.
Dari beberapa aliran filsafat dalam
konsep pendidikan di atas, saya tidak sependapat dengan aliran Nativisme bahwa
‘setiap anak sejak lahir telah memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang disebut
pembawaan dan terdiri dari pembawaan baik dan pembawaan buruk. Jadi, jika sejak
lahir seorang anak memiliki sifat pembawaan yang buruk, maka seumur hidup ia
akan menjadi orang yang berwatak buruk, sebaliknya jika ia memang berpembawaan
baik, maka sampai mati pun ia tetap menjadi orang baik’. Jika seperti itu adanya,
kasian juga ya manusia hihi manusia tidak diberikan kesempatan untuk berubah
menjadi lebih baik dan tidak adanya perkembangan pada manusia, baik perkembangan
pola pikir ataupun perkembangan perilaku karena telah disebutkan bahwa manusia
itu sudah mempunyai pembawaan sejak lahir baik atau buruknya. Sebenarnya
pandangan ini bertentangan dengan Islam karena Allah SWT telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Manusia berbeda dengan makhluk
lainnya karena manusia mempunyai akal. Dengan akal manusia dapat membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya. Coba bayangkan, jika dari
lahir kita mempunyai sifat pembawaan yang buruk. Masih adakah orang yang mau
berteman dengan kita karena kita berwatak buruk? Jangankan berteman untuk berkenalan
saja mungkin enggan. Apabila hal itu terjadi, akan dibawa kemanakah dunia ini?.
Dalam pandangan Islam, berbicara
tentang karakter manusia berarti berbicara tentang fitrah sebagai hakikat
manusia. Dalam Q.S Ar-Ruum : 30 ‘Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada
agama Allah, ciptaan Allah, yang manusia telah diciptakan bersesuaian dengannya,
tidak ada perubahan pada penciptaan Allah itu. Itulah agama yang benar. Tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya’. Ayat ini memberi kesimpulan bahwa
fitrah manusia selalu berkonotasi baik dan menjadi asumsi yang sangat mendasar
bahwa manusia memang diciptakan dalam keadaan baik dan berkecenderungan
mengarah kepada kebaikan dan kebenearan. Wallahua’lam.
Referensi
: Buku Pengantar Filsafat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar